Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya Al-Durr al-Nafis
inilah secuil tentang waliyullah yang mulia yang ikut berperan dalam khasanah islam di banua kalimantan selatan pada khususnya dan pada dunia islam pada umumnya
semoga dengan tulisan ini kita mendapat berkah.. amien
Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas dari jasa, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih) beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr al-Nafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau.
Muhammad Nafis merupakan seseorang yang berasal dari kalangan bubuhan keluarga bangsawan kerajaan Banjar. Beliau dilahirkan di salah satu desa yang sekarang termasuk sebagai bagian wilayah Martapura. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun menurut Laily Mansur merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka penulis lebih condong dan berasumsi bahwa umur beliau tentu tidak jauh beda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad, bedanya hanyalah lebih muda atau lebih tua, yakni antara tahun 1700-1720.
Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani.
Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.
Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur.
Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah.
Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.
Berdasarkan kajian bahasan, kitab Al-Durr al-Nafis tersebut berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang tinggi sehingga dikatakan, “adalah rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh/ulama yang tinggi ilmu agama”. Sayangnya naskah asli yang di tulis tangan sendiri oleh pengarang, sampai sekarang belum ditemukan. Padahal menurut Laily Mansur pengaruh kitab ini cukup luas di kalangan masyarakat dan cukup dikenal oleh kaum muslimin di daerah Asia Tenggara yang berbahasa Melayu, selalu dibaca orang sejak terbitan pertama hingga sekarang, dicetak di Saudi Arabia, Mesir, Singapura dan Indonesia serta berpengaruh dalam risalah Amal Ma’rifah karangan Abdurrahman Siddiq Al Banjary tahun 1322 H dan risalah Kasyful Asrar karang Muhammad Saleh bin Abdullah Mangkabawi tahun 1344 H.
Berdasarkan naskah kitab tersebut oleh Laily Mansur disimpulkan bahwa kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran tasawuf yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya meliputi maqamat, Tuhan, kejadian manusia, hubungan manusia dengan Tuhan yang kesemuanya mempunyai hubungan diales antara yang satu dengan yang lain hingga bernatijah bahwa wujud itu hanya satu. Laily Mansur menilai bahwa ajaran tasawuf Muhammad Nafis dipengaruhi oleh filsafat khususnya filsafat Neo Platonisme. Kemudian tauhid dalam ajaran Muhammad Nafis adalah tauhid sebagaimana yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli, yakni yang ada hanyalah Allah dan selain Dia adalah tidak ada, kalau selain Dia itu ada maka cara beradanya adalah melalui tajalli atau kezahiran hingga Dia berada di tiap zarrah ujud, dengan demikian paham tasawuf yang dikandung dalam kitabnya tersebut adalah paham wahdatul wujud yang melihat bahwa segala yang ada terdiri dari aspek luar (aradh dan al Khalq) dan aspek dalam atau batin/jauhar (yakni al haq), paham ini dipelopori oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jilli, Jalaluddin Rumi. Pokok pembahasan tentang tauhid tersebut mencakup tauhid af’al, tauhid asma, tauhid sifat dan tauhid zat.
Berdasarkan gambaran di atas pemikiran tasawuf Muhammad Nafis dapat dimasukan kepada corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab Al-Durr al-Nafis tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir, sebab kitab tersebut mengajarkan paham Wahdatul Wujud sebagaimana difatwakan oleh mufti kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad. Untuk itulah Hawash Abdullah penulis buku Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara menjelaskan bahwa pada zaman Indonesia dijajah oleh Belanda, mempelajari kitab ini diharamkan. Sehingga ada ulama yang kemudian juga menfatwakan bahwa kitab tersebut berisi ajaran yang sesat menyesatkan. Boleh jadi hal ini merupakan salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir. Hawash Abdullah pada tahun 1972 juga pernah melakukan pelacakan ke berbagai daerah dan kepada para ulama untuk mengetahui secara pasti tanggapan mereka terhadap isi kitab tersebut, seperti di Pontianak Kalimantan Barat. Sayangnya di antara ulama yang mengecam kitab tersebut ada yang belum pernah membaca atau mempelajari kitab Al-Durr al-Nafis, tidak mengetahui secara pasti isi kitabnya dan bagian-bagian mana saja dari kitab tersebut yang dianggap salah dan menyimpang. Karena itulah selanjutnya argumentasi kelompok yang mengharamkan dan menganggap kitab Al-Durr al-Nafis sesat adalah lemah. Sebab kalau kitab Al-Durr al-Nafis tersebut menyesatkan, mengapa ia dipelajari oleh para ulama di Nusantara sejak beredarnya tahun 1200 H hingga sekarang, belum seorangpun di kalangan ulama sufi yang mengatakan bahwa kitab ini tidak berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.
Ahmadi Isa berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis yang dikarang oleh Muhammad Nafis itu berisi ajaran-ajaran Tauhid yang terjalin kelindan dengan tasawuf yang kadang-kadang sulit dan rumit, kecuali bagi ulama yang luas pengetahuan agamanya, paling tidak sudah mempunyai dasar-dasar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf yang memadai. Pokok bahasan dan penjelasan di dalam kitab Al-Durr al-Nafis nampaknya berangkat dari ilmu tauhid, pengarangnya mendukung aliran tauhid Sunni Al Asy’ari sambil mengkirtik dan menyanggah aliran Mu’tazilah dan Jabariyah. Kemudian dia kembangkan tauhid para sufi sambil menolak paham hulul Al Hallaj dan Ittihad Abu Yazid Al Bustami. Di sisi lain dia menjembatani atau memadukan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf filosofis, antara lain dia padukan antara paham wahdatul syuhud dengan paham wahdatul wujud. Hal inilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut.
Akibat kontroversi, pro dan kontra tersebut setidak-tidaknya menurut Asmaran.AS. ulama yang menilai ajaran tasawuf kitab Al-Durr al-Nafis terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama kelompok yang memandang bahwa kitab Al-Durr al-Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlussunnah waljamaah. Kedua kelompok yang melihat bahwa karena kitab Al-Durr al-Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa hanya ulama yang rasikh (tinggi pengetahuan agamanya) sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang. Karena itulah menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya. Kemudian kelompok ketiga berpendapat bahwa kitab Al-Durr al-Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.
Penulis sendiri melihat bahwa adanya kontroversi terhadap isi ajaran tasawuf yang terkandung dalam kitab tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual di antara mereka yang berdebat, selama perbedaan dalam memahaminya bersifat profesional dan proporsonal serta bisa melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih baik dan sempurna. Karenanya dalam menilai permasalahan mengenai keberadaan dan paradigma pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis ini ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis.
Pertama, naskah asli kitab tersebut sampai sekarang masih belum ditemukan sebagaimana pernah dilakukan oleh Ilham Masykuri Hamdi (1989) ketika melacaknya kepada beberapa ulama dan tokoh masyarakat, sehingga naskah yang ada sekarang diragukan keasliannya sebagai tulisan Muhammad Nafis dilihat dari sebagian isinya yang bertentangan dengan paham tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana pengakuan Muhammad Nafis bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ary i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tariqatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya. Terlebih-lebih lagi selama mengkaji ilmu tasawuf dan tariqat Muhammad Nafis seguru dengan Muhammad Arsyad dan Abdussamad Al Palimbani. Bahkan umumnya penerbit buku Al-Durr al-Nafis selalu mengingatkan bahwa mereka tidak pernah secara langsung menemukan naskah asli yang ditulis oleh Muhammad Nafis sendiri, karenanya tidak mustahil terdapat kekeliruan atau percampuran terhadap isi kitab tersebut.
Kedua, seandainya paham dan pemikiran tasawuf Muhammad Nafis adalahWahdatul Wujud yang mirip dengan tasawuf Hulul Husien Mansur Al Hallaj, konsep tasawuf Al Fana dan Al Baqa atau Al Ittihad Abu Yazid Al Bustami yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun, atau konsep Wahdatul Wujud (unity of existence) Muhyidin Ibnu Arabi yang merupakan bentuk lain dari paham Ittihad, ataukah pula Manunggaling Kawula Gustinya Syekh Siti Jenar, mengapa keberadaan Muhammad Nafis atau bukunya Al-Durr al-Nafis tidak menimbulkan dan memicu terjadinya pergolakan di masanya sebagaimana yang terjadi dengan Abdul Hamid Abulung, Siti Jenar, atau Hamzah Fansuri? Lebih daripada itu sebagaimana penjelasan Ahmadi Isa di atas tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Nafis tidaklah murni wahdatul wujud, sebagaimana kesimpulan Laily Mansur, tetapi lebih kepada wahdatul syuhud.
Ketiga, buku tersebut secara luas telah menjadi rujukan masyarakat dalam memahami ilmu tasawuf ketika itu ––bahkan sekarangpun di beberapa daerah negara-negara di Asia Tenggara masih dipelajari dan diajarkan secara lisan serta mengalami beberapa kali cetak ulang oleh beberapa penerbitan yang ada di Mekkah, Mesir, Basrah, Singapura, Surabaya––, dan mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap upaya pencerahan pemikiran dan spiritual umat, sehingga menurut H. Muhammad Djanawi (Ulama dari HSU Amuntai) orang yang sudah mempelajari ajaran tasawuf dalam kitab ini mereka akan merasa bangga. Namun walaupun menjadi rujukan dan berpengaruh luas terhadap masyarakat Islam diberbagai daerah, terutama di Kalimantan Selatan, namun tidak pernah terbetik adanya berita terhadap pencekalan isi atau larangan pengajarannya oleh pihak kerajaan Banjar baik pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah 1778-1808 M, Sultan Sulaiman 1808-1825 M maupun Sultan Adam Al Watsiq Billah 1825-1857 M dan masa-masa Sultan kerajaan Islam Banjar yang memerintahnya sesudahnya. Kecuali larangan yang dikeluarkan oleh Belanda, karena ketakutan mereka terhadap bangkitnya semangat orang-orang bumi putera dalam berjuang, berjihad guna mencapai kemerdekaannya. Sehingga mereka berkepentingan sekali untuk menghembuskan isu bahwa mempelajari kitab tasawuf seperti Al-Durr al-Nafis haram hukumnya.
Keempat, boleh jadi pasca peristiwa dihukum bunuhnya Syekh Abdul Hamid Abulung (Datu Abulung) yang dipancung karena perkataannya yang menyatakan bahwa syariat yang diajarkan pada masanya adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat, untuk itu ia menyatakan statement baru bahwa “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, tiada aku melainkan Dia, Dialah aku dan aku adalah Dia”, serta eksistensi dan luasnya pengaruh buku tasawuf Al-Durr al-Nafis karya syekh Muhammad Nafis ini menjadi salah satu faktor penyebab ditulisnya risalah tasawuf Kanzul Ma’rifah oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, yang menurut berita pada akhirnya dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh (Idwar Saleh, 1980).
Dari penjelasan di atas kesimpulan yang menarik untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa keberadaan atau sejarah hidup dan perjuangan, karya tulis dan corak pemikiran, pengaruh dan penyebarluasan ajaran tasawuf dari Syekh Muhammad Nafis dan kitabnya Al-Durr al-Nafis urgen untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Wallahua’lam.
Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dinihari 15 Shofar 1122 H, bertepatan 19 Maret 1710 M. Anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama , yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Sejak masa kecilnya Allah SWT telah menampakkan kelebihan pada dirinya yang membedakannya dengan kawan sebayanya. Dimana dia sangat patuh dan ta'zim kepada kedua orang tuanya, serta jujur dan santun dalam pergaulan bersama teman-temannya. Allah SWT juga menganugrahkan kepadanya kecerdasan berpikir serta bakat seni, khususnya di bidang lukis dan khat (kaligrafi).
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, dan sampailah ke kampung Lok Gabang alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka ditanyakanlah siapa pelukisnya, maka dijawab orang bahwa Muhammad Arsyad lah sang pelukis. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan keinginan untuk mengasuh dan mendidik Muh. Arsyad kecil di istana yang ketika itu baru berusia ± 7 tahun.
Sultanpun mengutarakan goresan hatinya kepada kedua orang tua Muh. Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya yang tercinta. Tapi demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sultan tersebut. Kepandaian Muh. Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultanpun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang solehah bernama tuan "BAJUT", seorang perempuan yang ta'at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muh. Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muh. Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya.Deraian air mata dan untaian do'a mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muh. Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Diantara guru beliau adalah Syekh 'Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al 'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abd. Karim al Samman al Hasani al Madani.
Syekh yang disebutkan terakhir adalah guru Muh. Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muh. Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Menurut riwayat, Khalifah al Sayyid Muhammad al Samman di Indonesia pada masa itu, hanya empat orang, yaitu Syekh Muh. Arsyad al Banjari, Syekh Abd. Shomad al Palembani (Palembang), Syekh Abd. Wahab Bugis dan Syekh Abd. Rahman Mesri (Betawi). Mereka berempat dikenal dengan "Empat Serangkai dari Tanah Jawi" yang sama-sama menuntut ilmu di al Haramain al Syarifain.
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang diarak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muh. Arsyad di kampung halamannya Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu.
Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kerajaan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultanpun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang 'alim lagi wara'.
Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muh. Arsyad mempunyai beberapa metode, di mana antara satu dengan yang lain saling menunjang. Adapun metode-metode tersebut, yaitu:
Bil-hal
Keteladanan yang baik (uswatun hasanah)yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur-kata sehari-hari dan disaksikan secara langsung oleh murid-murid beliau.
Bil-lisan
Dengan mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat dan handai taulan.
Bil-kitabah
Menggunakan bakat yang beliau miliki di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah lewat ketajaman penanya kitab-kitab yang menjadi pegangan umat. Buah tangannya yang paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fiddin, yang kemasyhurannya sampai ke Malaysia, Brunei dan Pattani (Thailand selatan).
Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup Orang yang teguh pada pegangan yang genap Ia waspada dalam ibadah yang mantap Bersikap wara' berperilaku dan sikap Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga lagi untuk bernafas".
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".
Oleh karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan ( sumber tulisan sufi Road )
Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.
Ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang. Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy...”
Ditulis oleh Zulfajamalie dalam Melacak jejak Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar
Menurut bahasa tarekat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.5 Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai.6 Di samping itu pula lebih jauh menurut Usman Said tarekat dapat diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.7
Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah, sebelum menempuh atau melaksanakan jalan ke arah itu. Tarekat adalah jalan, cara, metode dan sistem menuju kepada Tuhan. Menurut Sjechul Hadi Permono kata tarekat mengalami perkembangan, sehingga mempunyai dua pengertian. Pertama, tinjauan pada abad IX dan X M tarekat berarti cara pendidikan, akhlak, dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Pengertian ini lebih mendekati suatu teori, suatu pendidikan khusus, karena pada tarekat pendidikan akhlak batin dengan melalui tingkatan-tingkatan pendidikan tertentu (maqamat dan ahwal). Namun walau demikian ia tetap umum, karena belum merupakan suatu sekte tertentu, belum merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri. Kedua, sesudah abad XI M tarekat tersebut mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan riya«ah-riya«ah rohani dan jasmani bagi sekelompok orang (murid).8
Dalam pengertian ini tarekat sudah merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri yang didirikan menurut aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian tertentu. Berdasarkan beberapa definisi di atas jelaslah bahwa pada prinsipnya tarekat adalah metode, cara, sistem tingkah laku (sirah) atau sul¬k yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju kepada Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat (stasiun-stasiun) dan mendaki ahwal (keadaan). Sementara itu nama-nama tarekat dimaksud biasanya disandarkan pada nama para pendirinya. Di Indonesia tarekat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tarekat mu’tabarah. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166M), tarekat Rifaiyah oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas (wafat 1106 M), tarekat Naqsabandiyah oleh Muhammad bin Baha’uddin al-Uwaisiy al-Bukhariy (717-791 H), tarekat Sammaniyah oleh Syekh Muhammad Samman al-Madaniy (1718-1775 M), tarekat Khalwatiyah oleh Zahiruddin (wafat 1397 M), tarekat al-Haddad oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, tarekat Khalidiyah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidiy, dan lain-lain. Di antara tarekat ini yang cukup pesat perkembangannya di Tanah Banjar (Kalimantan Selatan) adalah tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia mulanya dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat di samping tarekat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang disebut dengan tarekat Sammaniyah. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan tarekat Sammaniyah di Nusantara, terutama Sumatera dan daerah sekitarnya.
Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.9
Ciri-ciri tarekat ini menurut Abu Bakar Atjeh antara lain adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah.10 Menurut Snouck Hurgronje, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman, ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).11 Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemahlembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.12
Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar
Tesis kuat yang berkembang selama ini menyatakan bahwa tarekat Sammaniyah ini adalah tarekat pertama yang masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting.
Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Sammaniyah. Hal ini terbukti dari adanya empat jenis ratib yang umumnya diamalkan masyarakat Banjar yang selaras dengan ratib Samman. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samman tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas.
Kedua, lebih daripada itu boleh jadi bahwa baratib baamal dan baratib bailmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Telaga Itar Kelua dan meluas ke daerah sekitarnya (Banua Lima) adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat.
Ketiga, nilai dan ajaran tarekat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda,13 terutama kepada para peristiwa pertempuran di berbagai daerah se Banua Lima. Seperti pertempuran di Sungai Malang Amuntai, perlawanan di daerah Martapura, peristiwa Amuk Hantarukung di Kandangan yang dikomandoi oleh dua orang kakak beradik, Bukhari dan Santar adalah pengikut tarekat murid dari Gusti Muhammad Seman yang biasa melakukan zikir dan membaca wirid-wirid tertentu.14 Begitu juga dengan gerakan Datu Aling (di Muning Rantau) dan pengikutnya, bahkan para pahlawan perang Banjar seperti P. Antasari juga termotivasi oleh pengaruh ajaran tarekat. Karena itu adagium perjuangan dan ucapan haram manyarah, waja sampai kaputing, boleh jadi adalah manifestasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf atau tarekat sammaniyah.
Sementara itu ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang. Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy, dengan alasan sebagai berikut: Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tarekat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy. Menurut Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir.15 Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, ditempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan shalat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan dzikir yang berbunyi la ilaha illa Allah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi kelafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah––dan seterusnya––dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan disepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata h¬ pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke-esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah. Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf.
Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan dipublikasikan secara luas, hanya disalin oleh murid-muridnya yang terpercaya, salinan kitab ini juga pernah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh.16
Walaupun berdasarkan hasil penelitian dari beberapa orang ulama dinyatakan bahwa kitab Kanzul Ma’rifah tersebut lebih bercorak khalwatiyah dan tidak murni Sammaniyah seperti sekarang ini, maka hal inipun dapat dimaklumi. Sebab Syekh Samman sendiri mulanya dibaiat sebagai pengikut tarekat Khalwatiyah yang bercorak Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Karena itu wajar jika kitab tulisan Syekh Muhammad Arsyad tersebut lebih mirip dengan ajaran tarekat Khalwatiyah dibanding tarekat Sammaniyah seperti sekarang, yang telah berdiri sendiri.
Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan tidak pernah dipublikasi secara luas, sehingga gambaran yang lengkap tentang konsepsinya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink bisa diduga bahwa sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Abdussamad al-Falimbani, yang mengikuti paham tasawuf yang agak moderat menurut aliran al-Gazali.17
Ketiga, menurut Zafry Zamzam,18 Martin van Bruinessen,19 selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad telah pula berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani dan mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tarekat Sammaniyah, kemudian sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syekh Muhammad Arsyad disebutkan sebagai salah seorang muridnya. Dengan gelar itu pula secara moralitas Syekh Muhammad Arsyad dianggap orang yang paling bertanggungjawab terhadap keberadaan dan perkembangan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari syekh Muhammad Arsyad, adalah juga penganut tarekat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tarekat Sammaniyah adalah “Guru Sekumpul” (Syekh H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni “Guru Bangil” (al-Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tarekat Sammaniyah semakin luas.
Walaupun demikian, Martin van Bruinessen tetap meyakini bahwa keberadaan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.20 Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan, tidak ada yang menyinggung dan mengisyaratkan secara khusus tentang tarekat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin Van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah yang belum dicetak dan publikasinya terbatas sebagaimana dijelaskan di atas.
Ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tarekat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjariy, sebagaimana keyakinan dan pengakuan Martin van Bruinessen di atas. Lebih jauh ada beberapa alasan signifikan mengapa Syekh Muhammad Nafis al-Banjari diasumsikan sebagai ulama kedua yang berjasa mengembangkan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh ‘Abdullah ibn Hijaziy al-Syarqawiy al-Misriy, Syekh Shiddiq ibn ‘Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy, Syekh ‘Abdurrahman Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Maghribiy dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhariy. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tarekat menurut Ahmadi Isa, Syekh Muhammad Nafis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy dan ‘Abdu¡¡amad al-Falimbaniy.21
Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af’al wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat, ªat al-Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ari i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.22
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah, maka Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.23 Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al-‘Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syaikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjariy.
Keempat, setelah kembali ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795,24 pada masa kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M) Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Mengapa Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan perjuangan dakwahnya di daerah Kelua dan sekitarnya? Karena Kelua adalah daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur, dan merupakan daerah kosong dari perjuangan dakwah. Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar.25
Berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, pada abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.26 Kemudian jika pada akhirnya Kelua melahirkan pejuang-pejuang Islam yang memiliki semangat tinggi untuk mengusir penjajah Belanda boleh jadi salah satu faktor pembangkitnya adalah melalui pendekatan tasawuf dan tarekat. Sehingga dalam sejarah pergerakan dan perjuangan umat Islam di Tanah Banjar, pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir.
Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis asumsikan sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, atau paling tidak mempunyai andil terhadap perkembangannya di Tanah Banjar, terutama daerah Tanah Laut dan Kotabaru, Pagatan dan sekitarnya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil kuat yang menunjukkan hal tersebut.
Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai yakni ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy serta Syekh Abdurrahman Mashri, ia tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi ikut Syekh Muhammad Arsyad ke Banjarmasin/Martapura.27 Karena itu rasional sekali jika dikatakan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya selama di Mekkah.
Sementara, hasil perkawinannya dengan anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Syarifah melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Syekh Abdul Wahab Bugis baru pula ke kampung halamannya di Sidenring Pangkajene (Makasar) sesudah Syarifah wafat dan kedua anaknya sudah dewasa.28 Kesimpulannya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tarekat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, iapun ikut menyebarkannya. Sebab tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat, sedangkan ia adalah ulama.
Kedua, menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor.29 Informasi ini memberikan petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad al- Falimbani dan dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya petunjuk ini menguatkan kembali asumsi bahwa ia lebih banyak mengamalkan ilmunya di Kalimantan Selatan, walaupun data yang merujuk ke sana masih sedikit. Karenanya untuk lebih mengetahui tentang sejarah hidup dan keberadaan tokoh ini perlu penelitian yang lebih mendalam.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perkembangan tasawuf terutama tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Banjar itu sendiri. Karenanya mulai dari masuknya Islam ke wilayah Banjar, sampai masa perjuangan fisik hingga pembangunan sekarang diyakini bahwa tasawuf dan tarekat tetap eksis dan survive dalam menjaga kerohanian masyarakat.
Di samping itu hal yang lebih penting dan menarik lagi untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa informasi yang berkembang dan data sejarah yang berserakan tentang keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tasawuf atau tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan pada masyarakat Banjar khususnya perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Sehingga informasi, dan data-data yang mengetengahkan tentang keberadaan dan sejarah perkembangan tarekat ini menjadi lebih jelas dan valid untuk mernjadi pengetahuan dan warisan ilmu kepada generasi mendatang.
Catatan
5Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.258. 6Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979, h.47. 7Usman Said, Op.cit., h.258. 8Sjechul Hadi Permono, “Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam”, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991, h.32. 9Usman Said, Op.cit., h.286. 10Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.340. 11C. Snouck Hurgronje, dalam Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.286. 12Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.339. 13Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin, h.6. 14Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, PPIK IAIN Antasari Banjarmasin, h.7. (lihat pula Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000, h.11-12. 15M. Asywadie Syukur Syukur, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan”, Makalah Seminar, disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, tanggal 2-6 Agustus 2001, h.23. 16Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Karya, Banjarmasin, 1974, h.12. (lihat Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958). 17Karel S. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, h.96. 18Zafry Zamzam, Op.cit., h.6 dan 12. 19Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999, h.66. 20Ibid. 21Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.28 (lihat pula Zafri Zamzam, Op.cit., h.6 dan 13. 22M. Laily Mansyur, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th. h.2. 23Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th., h.109 (lihat pula Ahmadi Isa, Op.cit., h.29). 24Ahmadi Isa, “Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis”, Makalah Seminar, Disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000. 25Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988, h.615-616. 26Ibid. 27Zafry Zamzam, Op.cit., h.7. 28Ibid., h.14. 29Martin van Bruinessen, Op.cit., h.286
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th. Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994. Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999. Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988. Haderani. HN, Durrun Nafis Permata yang Indah, Al Ikhlas, Surabaya, 1999. Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, terjemahan. S. Gunawan, Bhratara, Jakarta, 1973. Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001. __________, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis, makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000. Mansyur, M. Laily, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th. Maskuri, M. Ilham, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan (Tinjauan Sejarah Pembaharuan Wacana Relegio-Intelektual), makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000. Permono, Sjechul Hadi, Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991. Said, Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981. Saleh, M. Idwar, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958. Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000. Streenbrink, Karel S., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989. Syukur, M. Asywadie, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan, makalah disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 2-6 Agustus 2001, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, Banjarmasin, LK3 dan Serambi Ummah. Banjarmasin Post. Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, Banjarmasin, PPIK IAIN Antasari. Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.
Hadramaut adalah suatu daerah yang terletak di Timur Tengah, tepatnya di kawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden sampai Tanjung Ras al-Hadd. Menurut sebagian orang Arab, Hadramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai di antara pantai desa-desa nelayan Ain Ba Ma'bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak di belakangnya. Penamaan Hadramaut menurut penduduk adalah nama seorang anak dari Qahthan bin Abir bin Syalih bin Arfahsyad bin Sam bin Nuh yang bernama Hadramaut, yang pada saat ini nama tersebut disesuaikan namanya dengan dua kata arab hadar dan maut.
Nabi Hud merupakan salah satu nabi yang berbangsa Arab selain Nabi Saleh, Nabi Ismail dan Nabi Muhammad SAW. Nabi Hud diutus kepada kaum 'Ad yang merupakan generasi keempat dari Nabi Nuh, yakni keturunan Aus bin Aran bin Sam bin Nuh. Mereka tinggal di Ahqaf yakni jalur pasir yang panjang berbelok-belok di Arab Selatan, dari Oman di Teluk Persia hingga Hadramaut dan Yaman di Pantai Selatan Laut Merah. Dahulu Hadramaut dikenal dengan Wadi Ahqaf, Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata bahwa al-Ahqaf adalah al-Khatib al-Ahmar. Makam Nabi Hud secara tradisional masih ada di Hadramaut bagian Timur dan pada tanggal 11 Sya'ban banyak dikunjungi orang untuk berziarah ke makam tersebut dengan membaca tiga kali surah Yasin dan doa nisfu Sya'ban. Ziarah nabi Hud pertama kali dilakukan oleh al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan setelah beliau wafat, ziarah tersebut dilakukan oleh anak keturunannya.
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad semasa hidupnya sering berziarah ke makam Nabi Hud. Beliau sudah tiga puluh kali berziarah ke sana dan beliau lakukan pada setiap bulan Sya'ban. Dalam ziarah tersebut beliau berangkat bersama semua anggota kerabat yang tinggal di dekatnya. Beliau tinggal (di dekat pusara Nabi Hud) selama beberapa hari hingga maghrib menjelang malam nisfu sya'ban. Beliau menganjurkan kaum muslimin untuk berziarah ke sana, bahkan beliau mewanti-wanti, "Barangsiapa berziarah ke (makam) Nabi Hud dan di sana ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, ia akan mengalami tahun yang baik dan indah." Menurut sebagian ulama kasyaf ,makam Nabi Hud merupakan tempat penobatan para waliyullah.
Setibanya di syi'ib Nabi Hud (lembah antara dua bukit tempat pusara nabi Hud), Imam al-Haddad bertemu dengan beberapa orang sayyid dan waliyullah, sehingga pertemuan itu menjadi majlis pertukaran ilmu dan pandangan. Dalam bahasa Ibrani asal nama Hadramaut adalah 'Hazar Maweth' yang berdasarkan etimologi, rakyat mengaggapnya berhubungan dengan gagasan "hadirnya kematian" yaitu berkaitan dengan hadirnya Nabi Saleh as ke negeri itu, yang tidak lama kemudian meninggal dunia. Pengertian lain kata Hadramaut menurut prasasti penduduk asli Hadramaut adalah "panas membakar", sesuai dengan pendapat Moler dalam bukunya Hadramaut, mengatakan bahwa Hadramaut sebenarnya berarti negeri yang panas membakar. Sebuah legenda yang dipercayai masyarakat Hadramaut bahwa negeri ini diberi nama Hadramaut karena dalam negeri tersebut terdapat sebuah pohon yang disebut al-Liban semacam pohon yang baunya menurut kepercayaan mereka sangat mematikan. Oleh karena itu, setiap orang yang datang (hadar) dan menciumnya akan mati (maut).
Kota-kota di Hadramaut.
Di antara pelabuhan yang cukup penting di pantai Hadramaut adalah al-Syihir dan al-Mokalla. Asy-Syihir merupakan bandar penting yang melakukan perdagangan dengan pantai Afrika Timur, Laut Merah, Teluk Persia, India dan pesisir Arab Selatan terutama Moskat, Dzofar dan Aden serta perdagangan dengan bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lainnya. Kota Syibam merupakan salah satu kota penting di negeri itu. Syibam merupakan kota Arab terkenal yang dibangun menurut gaya tradisional. Di kota ini terdapat lebih dari 500 buah rumah yang dibangun rapat, bertingkat empat atau lima. Orang Barat menjulukinya 'Manhattan of the Desert'. Kota tua ini telah menjadi ibukota Hadramaut sejak jatuhnya Syabwah (pada abad ke 3 sampai abad ke 16). Karena dibangun di dasar wadi yang agak tinggi, kota ini rentan terhadap banjir, seperti yang dialaminya tahun 1532 dan 1533. Kota-kota besar di sebelah Timur Syibam adalah al-Gorfah, Syeiun, Taribah, al-Goraf, al-Sowairi, Tarim, Inat dan al-Qasm. Saiyun merupakan kota terpenting di Hadramaut pada abad ke 19, kota terbesar yang merupakan ibukota protektorat terletak 320 km dari Mokalla'. Ia juga sering dijuluki 'Kota Sejuta Pohon Kurma' karena luasnya perkebunan kurma di sekitarnya. Kota lain di sebelah Timur Syibam adalah Tarim, yang terletak sekitar 35 km di Timur Saiyun. Di satu sisi kota ini terlindungi oleh bukit-bukit batu terjal, di sisi lain di kelilingi oleh perkebunan kurma. Sejak dulu, Tarim merupakan pusat Mazhab Syafi'i. Antara abad ke 17 dan abad ke 19 telah terdapat lebih dari 365 masjid. Kota Tarim atau biasa dibaca Trim termasuk kota lama. Nama Tarim, menurut satu riwayat diambil dari nama seorang raja yang bernama Tarim bin Hadramaut. Dia juga disebut dengan Tarim al-Ghanna atau kota Tarim yang rindang karena banyak pepohonan dan sungai. Kota tersebut juga dikenal dengan kota al-Shiddiq karena gubernurnya Ziyad bin Lubaid al-Anshari ketika menyeru untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, maka penduduk Tarim adalah yang pertama mendukungnya dan tidak ada seorang pun yang membantahnya hingga khalifah Abu Bakar mendoakan penduduk Tarim dengan tiga permintaan: (1) agar kota tersebut makmur, (2) airnya berkah, dan (3) dihuni oleh banyak orang-orang saleh. Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Abu Bakar Ba'abad berkata bahwa: "al-Shiddiq akan memberikan syafa'at kepada penduduk Tarim secara khusus". Menurut suatu catatan dalam kitab al-Ghurar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Ali bin Alawi Khirid, bahwa keluarga Ba'alawi pindah dari Desa Bait Jubair ke kota Tarim sekitar tahun 521 hijriyah. Setelah kepindahan mereka kota Tarim dikenal dengan kota budaya dan ilmu. Diperkirakan, pada waktu itu di kota Tarim ada sekitar 300 orang ahli fiqih, bahkan pada barisan yang pertama di masjid agung kota Tarim dipenuhi oleh ulama fiqih kota tersebut. Adapun orang pertama dari keluarga Ba'alawi yang hijrah ke kota Tarim adalah Syaikh Ali bin Alwi Khali' Qasam dan saudaranya Syaikh Salim, kemudian disusul oleh keluarga pamannya yaitu Bani Jadid dan Bani Basri. Diceritakan bahwa pada kota Tarim terdapat tiga keberkahan: (1) keberkahan pada setiap masjidnya, (2) keberkahan pada tanahnya, (3) keberkahan pada pergunungannya. Keberkahan masjid yang dimaksud adalah setiap masjid di kota Tarim pada waktu sesudah kepindahan Ba'alawi menjadi universital-universitas yang melahirkan ulama-ulama terkenal pada masanya. Di antara masjid-masjid di kota Tarim yang bersejarah ialah masjid Bani Ahmad yang kemudian dikenal dengan masjid Khala' Qasam setelah beliau berdomisili di kota tersebut. Masjid tersebut dibangun dengan batu, tanah dan kayu yang diambil dari desa Bait Jubair karena tanah dari desa tersebut dikenal sangat bagus, kemudian masjid tersebut dikenal dengan masjid Ba'alawi. Bangunan masjid Ba'alawi nyaris sebagian tiangnya roboh dan direnovasi oleh Muhammad Shahib Mirbath. Pada awal abad ke sembilan hijriyah, Syaikh Umar Muhdhar merenovasi kembali bagian depan dari masjid tersebut.
Naqib dan Munsib.
Di lembah yang terletak antara Syibam dan Tarim dengan Saiyun di antaranya terdapat lebih dari sepertiga penduduk Hadramaut. Dari sini pula kebanyakan orang Arab di Indonesia. Di antara penduduk Hadramaut terdapat kaum Alawiyin yang lebih dikenal dengan golongan Sayid. Golongan Sayid sangat besar jumlah anggotanya di Hadramaut terutama di kota Tarim dan Saiyun, mereka membentuk kebangsawanan beragama yang sangat dihormati, sehingga secara moral sangat berpengaruh pada penduduk. Mereka terbagi dalam keluarga-keluarga (qabilah), dan banyak di antaranya yang mempunyai pemimpin turun temurun yang bergelar munsib. Munsib merupakan perluasan dari tugas 'Naqib' yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad al-Muhajir sampai zaman Syekh Abu Bakar bin Salim. Seorang 'naqib' adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim, seperti Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf. Ketika terpilih menjaga 'naqib', beliau mengajukan beberapa persyaratan, diantaranya: 1. Kepala keluarga Alawiyin dimohon kesediaannya untuk menikahkan anak-anak perempuan mereka dari keluarga kaya dengan anak laki-laki dari keluarga miskin, begitu pula sebaliknya untuk menikahkan anak laki-laki dari keluarga kaya dengan anak perempuan dari keluarga miskin. 2. Menurunkan besarnya mahar pernikahan dari 50 uqiyah menjadi 5 uqiyah, sebagaimana perintah shalat dari 50 waktu menjadi 5 waktu. 3. Tidak menggunakan tenaga binatang untuk menimba air secara berlebihan. Setelah Syekh Umar Muhdhar wafat, jabatan 'naqib' dipegang oleh Syekh Abdullah Alaydrus bin Abu Bakar al-Sakran, Syekh Abu Bakar al-Adeni Alaydrus, Sayid Ahmad bin Alwi Bajahdab, Sayid Zainal Abidin Alaydrus. Menurut Syekh Ismail Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya 'Al-Saraf al-Muabbad Li Aali Muhammad' berkata: "Salah satu amalan yang khusus yang dikerjakan oleh keluarga Rasulullah, adanya 'naqib' yang dipilih di antara mereka". Naqib dibagi menjadi dua, yaitu: Naqib Umum ( al-Naqib al-Am ), dengan tugas: 1. Menyelesaikan pertikaian yang terjadi di antara keluarga 2. Menjadi ayah bagi anak-anak dari keluarga yatim 3. Menentukan dan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang telah membuat suatu kesalahan atau menyimpang dari hukum agama. 4. Mencarikan jodoh dan menikahkan perempuan yang tidak punya wali. Naqib khusus (al-Naqib al-khos), dengan tugas: 1. Menjaga silsilah keturunan suatu kaum 2. Mengetahui dan memberi legitimasi terhadap nasab seseorang. 3. Mencatat nama-nama anak yang baru lahir dan yang meninggal. 4. Memberikan pendidikan akhlaq kepada kaumnya. 5. Menanamkan rasa cinta kepada agama dan melarang untuk berbuat yang tidak baik. 6. Menjaga keluarga dari perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. 7. Menjaga keluarga bergaul kepada mereka yang mempunyai akhlaq rendah demi kemuliaan diri dan keluarganya. 8. Mengajarkan dan mengarahkan keluarga tentang kebersihan hati 9. Menjaga orang yang lemah dan tidak menzaliminya. 10. Menahan perempuan-perempuan mereka menikah kepada lelaki yang tidak sekufu'. 11. Menjaga harta yang telah diwakafkan dan membagi hasilnya berdasarkan ketentuan yang berlaku. 12. Bertindak tegas dan adil kepada siapa saja yang berbuat kesalahan. Dewan naqabah terdiri dari sepuluh anggota yang dipilih. Setiap anggota mewakili kelompok keluarga atau suku dan dikukuhkan lima orang sesepuh suku itu dan menjamin segala hak dan kewajiban yang dibebankan atas wakil mereka. Dewan yang terdiri dari sepuluh anggota ini mengatur segala sesuatu yang dipandang perlu sesuai kepentingan, dan bersesuaian pula dengan ajaran syari'at Islam serta disetujui oleh pemimpin umum. Apabila keputusan telah ditetapkan maka diajukanlah kepada pemimpin umum (naqib) untuk disahkan dan selanjutnya dilaksanakan. Dari waktu ke waktu tugas 'naqib' semakin berat, hal itu disebabkan banyak keluarga dan mereka menyebar ke berbagai negeri yang memerlukan perjalanan berhari-hari untuk bertemu 'naqib' jika mereka hendak bertemu untuk menyelesaikan masalah yang timbul. Untuk meringankan tugas 'naqib' tersebut, maka terbentuklah 'munsib'. Para munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarganya. Jabatan munsib diterima secara turun menurun, dan di antara tugasnya selalu berusaha mendamaikan suku-suku yang bersengketa, menjamu tamu yang datang berkunjung, menolong orang-orang lemah, memberi petunjuk dan bantuan kepada mereka yang memerlukan. Sebagaian besar munsib Alawiyin muncul pada abad sebelas dan abad ke dua belas hijriyah, diantaranya keluarga bin Yahya mempunyai munsib di al-Goraf, keluarga al-Muhdar di al-Khoraibah, keluarga al-Jufri di dzi-Asbah, keluarga al-Habsyi di khala' Rasyid, keluarga bin Ismail di Taribah, keluarga al-Aidrus di al-Hazm, Baur, Salilah, Sibbi dan ar-Ramlah, keluarga Syekh Abu Bakar di Inat, keluarga al-Attas di al-Huraidah, keluarga al-Haddad di al-Hawi dan keluarga Aqil bin Salim di al-Qaryah.
Keluarga golongan sayid.
Keluarga golongan Sayid yang berada di Hadramaut adalah: Aal-Ibrahim Al-Ustadz al-A'zhom Asadullah fi Ardih Aal-Ismail Aal-Bin Ismail Al-A'yun Aal-Albar Aal-Battah Aal-Albahar Aal-Barakat Aal-Barum Aal-Basri Aal-Babathinah Aal-Albaiti Aal-Babarik Aal-Albaidh Al-Turobi Aal-Bajahdab Jadid Al-Jaziroh Aal-Aljufri Jamalullail Aal-Bin Jindan Al-Jannah Aal-Junaid Aal-Aljunaid Achdhor Aal-Aljailani Aal-Hamid Aal-Alhamid Aal-Alhabsyi Aal-Alhaddad Aal-Bahasan Aal-Bahusein Hamdun Hamidan Aal-Alhiyyid Aal-Khirid Aal-Balahsyasy Aal-Khomur Aal-Khaneiman Aal-Khuun Aal-Maula Khailah Aal-Dahum Maula al-Dawilah Aal-Aldzahb Aal-Aldzi'bu Aal-Baraqbah Aal-Ruchailah Aal-Alrusy Aal-Alrausyan Aal-Alzahir Aal-Alsaqqaf Al-Sakran Aal-Bin Semith Aal-Bin Semithan Aal-Bin Sahal Aal-Assiri Aal-Alsyatri Aal-Syabsabah Aal-Alsyili Aal-Basyamilah Aal-Syanbal Aal-Syihabuddin Al-Syahid Aal-Basyaiban Al-Syaibah Aal-Syaikh Abi Bakar Aal-Bin Syaichon Shahib al-Hamra' Shahib al-Huthoh Shahib al-Syubaikah Shahib al-Syi'ib Shahib al-Amaim Shahib Qasam Shahib Mirbath Shahib Maryamah Al-Shodiq Aal-Alshofi Alsaqqaf Aal-Alshofi al-Jufri Aal-Basuroh Aal-Alshulaibiyah Aal-Dhu'ayyif Aal-Thoha Aal-Al thohir Aal-Ba'abud Al-Adeni Aal-Al atthas Aal-Azhamat Khan Aal-Aqil Aal-Ba'aqil Aal-Ba'alawi Aal-Ali lala Aal-Ba'umar Aal-Auhaj Aal-Aydrus Aal-Aidid Al-Ghozali Aal-Alghozali Aal-Alghusn Aal-Alghumri Aal-Balghoits Aal-Alghaidhi Aal-Fad'aq Aal-Bafaraj Al-Fardhi Aal-Abu Futaim Al-Faqih al-Muqaddam Aal-Bafaqih Aal-Faqih Aal-Bilfaqih Al-Qari' Al-Qadhi Aal-Qadri Aal-Quthban Aal-Alkaf Kuraikurah Aal-Kadad Aal-Karisyah Aal-Mahjub Al-Muhdhar Aal-Almuhdhar Aal-Mudhir Aal-Mudaihij Abu Maryam Al-Musawa Aal-Almusawa Aal-Almasilah Aal-Almasyhur Aal-Masyhur Marzaq Aal-Musyayakh Aal-Muzhahhir Al-Maghrum Aal-Almaqdi Al-Muqlaf Aal-Muqaibil Aal-Maknun Aal-Almunawwar Al-Nahwi Aal-Alnadhir Al-Nuqa'i Aal-Abu Numai Al-Wara' Aal-Alwahath Aal-Hadun Aal-Alhadi Aal-Baharun Aal-Bin Harun Aal-Hasyim Aal-Bahasyim Aal-Bin Hasyim Aal-Alhaddar Aal-Alhinduan Aal-Huud Aal-Bin Yahya Keluarga Alawiyin di atas adalah keturunan dari Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, sedangkan yang bukan dari keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi, adalah:
Sedangkan yang tidak berada di Indonesia kurang lebih berjumlah 40 qabilah, diantaranya qabilah Abu Numai al-Hasni yaitu leluhur Almarhum Raja Husein (Yordania) dan sepupunya Almarhum Raja Faisal (mantan raja Iraq) dan qabilah al-Idrissi, yaitu leluhur mantan raja-raja di Tunisia dan Libya.
Pemakaman Zanbal, Furait dan Akdar di Tarim.
Pusat pemukiman Kaum Alawiyin di Hadramaut ialah kota Tarim. Di sana terdapat tanah perkuburan Bisyar yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Zanbal, Furait dan Akdar. Di perkuburan Zanbal, al-Faqih Muqaddam dan semua sayyid terkemuka dari Kaum Alawiyin dimakamkan, di Furait terdapat perkuburan para masyaikh, dan Akdar merupakan perkuburan umum. Di pemakaman Zanbal, para Saadah al-Asraf, Ulama Amilin, Auliya' dan Sholihin yang tidak terhitung jumlahnya dikuburkan di sana. Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah berkata: "Lebih dari sepuluh ribu auliya' al-akbar, delapan puluh wali quthub dari keluarga alawiyin di makamkan di Zanbal". Seperti diriwayatkan oleh Syaikh Saad bin Ali: "Di pemakaman Zanbal dikuburkan para sahabat Rasulullah saw , mereka wafat ketika menunaikan tugas untuk memerangi ahli riddah. Mereka banyak yang wafat di Tarim dan tidak diketahui kuburnya". Akan tetapi Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah, berkata: "Sesungguhnya letak kubur mereka sebelah Timur dari kubur al-Ustadz al-A'zhom Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam". Berkata Syaikh Muhammad bin Aflah: "Sesungguhnya dari masjid Abdullah bin Yamani sampai akhir pemakaman Zanbal terdapat perkuburan para ulama dan auliya". Menurut ulama kasyaf, Rasulullah dan para sahabatnya sering berziarah ke pemakaman tersebut. Pertama kali makam yang diziarahi di perkuburan Zanbal adalah makam al-Ustadz al-A'zham Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam. Berkata Syaikh Ahmad bin Muhammad Baharmi: "Saya melihat Syaikhoin Abu Bakar dan Umar ra dalam mimpi berkata kepada saya, jika engkau ingin berziarah maka yang pertama kali diziarahi ialah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, kemudian ziarahilah siapa yang engkau kehendaki". Berkata sebagian para Saadah al-Akbar: "Barangsiapa berziarah kepada orang lain sebelum berziarah kepada al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, maka batallah ziarahnya". Kemudian ziarah kepada cucunya Syaikh Abdullah Ba'alwi, kemudian kubur ayahnya Alwi bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian Imam Salim bin Basri, kemudian ziarah kepada Syaikh Abdullah bin al-Faqih al-Muqaddam, Ali bin Muhammad Shahib Marbath, Ali bin Abdullah Ba'alwi, kemudian Syaikh Abdurahman Assaqqaf dan ayahnya Muhammad Maula Dawilah, ayahnya Ali bin al-Faqih al-Muqaddam, kemudian kakeknya Ali bin Alwi Khali' Qasam, Muhammad bin Hasan Jamalullail dan ayah serta kakeknya, kemudian Syaikh Muhammad bin Ali Aidid, Ali, Muhammad, Alwi, Syech bin Abdurahman Assaqqaf, kemudian ziarah kepada Syaikh Umar Muhdhor, Syaikh Ali bin Abi Bakar al-Sakran, kemudian Syaikh Hasan Alwara' dan ayahnya Syaikh Muhammad bin Abdurahman, kemudian para auliya' sholihin seperti al-Qadhi Ahmad Ba'isa, kemudian Syaikh Abdullah Alaydrus, Syaikhoin Muhammad dan Abdullah bin Ahmad bin Husin Alaydrus, kemudian Syaikh Abdullah bin Syech, Sayid Ali Zainal Abidin bin Syaikh Abdullah. Selain pemakaman Zanbal, terdapat pula pemakaman Furait. Dalam kamus bahasa Arab arti Furait adalah gunung kecil. Di tempat tersebut dikuburkan keluarga Bafadhal serta para ulama, auliya', sholihin yang tak terhitung jumlahnya. Syaikh Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah berkata: "Di tempat itu dikuburkan lebih dari sepuluh ribu wali" Beberapa ulama kasyaf menyaksikan, sesungguhnya rahmat Allah yang turun pertama kali di dunia ini di pemakaman Furait. Syaikh Abdurahman Assaqqaf, Sayid Abdullah bin Ahmad bin Abi Bakar bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan sebagian ulama di Makkah menceritakan bahwa dibawah tanah Furait terdapat taman dari taman-taman surga. Di pemakaman Furait, mulai ziarah diawali kepada Syaikh Salim bin Fadhal, kemudian Syaikh Fadhal bin Muhammad bin al-faqih Ahmad, Syaikh Fadhal bin Muhammad, kemudian kepada Syaikh Ahmad yahya dan ayah serta pamannya, kemudian Syaikh Ibrahim bin Yahya Bafadhal, Syaikh Abu Bakar bin Haj, kemudian kepada Imam al-Qudwah Ali bin Ahmad Bamarwan, al-Arif Billah Umar bin Ali Ba'umar, Imam Ahmad bin Muhammad Bafadhal, Ali bin al-Khatib, Syaikh Abdurahman bin Yahya al-Khatib, Syaikh Ahmad bin Ali al-Khatib, Imam Ahmad bin Muhammad bin Abilhub dan anaknya Said, Imam Saad bin Ali. Pemakaman ketiga yang terkenal di kota Tarim adalah pemakaman Akdar. Di perkuburan Akdar, yang dimakamkan di sana di antaranya para ulama, auliya' al-arifin dari keluarga Basri, keluarga Jadid, keluarga Alwi, keluarga Bafadhal, keluarga Baharmi, keluarga Bamahsun, keluarga Bamarwan, keluarga Ba'Isa, keluarga Ba'ubaid dan lainnya.
Akhlaq dan kebiasaan kaum Alawiyin.
Kaum Alawiyin tetap dalam kebiasaan mereka menuntut ilmu agama, hidup zuhud di dunia (tidak bergelimang dalam kesenangan duniawi) dan mereka juga menghindar dari popularitas (syuhrah). Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata: " Syuhrah bukan adat kebiasaan kami, kaum Alawiyin … " selanjutnya beliau berkata: " kedudukan kami para sayid Alawiyin tidak dikenal orang. Jadi tidak seperti yang ada pada beberapa wali selain mereka (kaum Alawiyin), yang umumnya mempunyai sifat-sifat berlainan dengan sifat-sifat tersebut. Sifat tersebut merupakan soal besar dalam bertaqarrub kepada Allah dan dalam memelihara keselamatan agama (kejernihan iman)." Imam al-Haddad berkata pula: " Dalam setiap zaman selalu ada wali-wali dari kaum Alawiyin, ada yang dzahir (dikenal) dan ada yang khamil (tidak dikenal). Yang dikenal tidak perlu banyak, cukup hanya seorang saja dari mereka, sedangkan yang lainnya biarlah tidak dikenal. Dari satu keluarga dan dari satu negeri tidak perlu ada dua atau tiga orang wali yang dikenal. Soal al-sitru (menutup diri) berdasarkan dua hal: pertama, seorang wali menutup dirinya sendiri hingga ia sendiri tidak tahu bahwa dirinya adalah wali. Kedua, wali yang menutup dirinya dari orang lain, yakni hanya dirinya sendiri yang mengetahui bahwa dirinya wali, tetapi ia menutup (merahasiakan) hal itu kepada orang lain. Orang lain tidak mengetahui sama sekali bahwa ia adalah wali. Sehubungan dengan tidak tampaknya para wali, Habib Abdullah al-Haddad menulis syair: "Apakah mereka semua telah mati, apakah mereka semua telah musnah, ataukah mereka bersembunyi, karena semakin besarnya fitnah." Tidak tampaknya para wali merupakan hikmah Allah, begitu pula tampaknya para wali. Tampak atau tidak tampak, para wali bermanfaat bagi manusia. Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi ditanya: "Apakah manfaat dari ketidak tampakan para wali ?". Beliau menjawab: "Tidak tampaknya para wali bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi wali itu sendiri. Sebab, sang wali dapat beristirahat dari manusia dan manusia tidak beradab buruk kepadanya. Mungkin kau meyakini kewalian seseorang, tetapi setelah melihatnya kau lalu berprasangka buruk. Seorang yang saleh bukanlah orang yang mengetahui kebenaran melalui kaum sholihin. Akan tetapi orang saleh adalah orang yang mengenal kaum sholihin melalui kebenaran." Sayid Ahmad bin Toha berkata kepada Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, "Aku tidak tahu bagaimana para salaf kita mendapatkan wilayah (kasyaf), padahal usia mereka masih sangat muda. Adapun kita, kita telah menghabiskan sebagian besar umur kita, namun tidak pernah merasakan walau sedikitpun. Aku tidak mengetahui yang menyebabkan itu ?". Habib Ali lalu menjawab:"Ketaatan dari orang yang makannya haram, seperti bangunan didirikan di atas gelombang. Karena ini dan juga karena berbagai sebab lain yang sangat banyak. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seseorang daripada bergaul dengan orang-orang jahat. Majlis kita saat ini menyenangkan dan membangkitkan semangatmu. Ruh-ruh mengembara di tempat ini sambil menikmati berbagai makanan hingga ruh-ruh itu menjadi kuat. Namun, sepuluh majlis lain kemudian mengotori hatimu dan merusak apa yang telah kau dapatkan. Engkau membangun, tapi seribu orang lain merusaknya. Apa manfaatnya membangun jika kemudian dirusak lagi ? kau ingin meningkat ke atas tapi orang lain menyeretmu ke bawah." Menurut ulama ahlul kasyaf , wali quthub adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Quthub biasa pula disebut Ghauts (penolong), dan termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan. Selain itu, ia dipandang sebagi pemegang jabatan khalifah lahir dan bathin. Wali quthub memimpin pertemuan para wali secara teratur, yang para anggotanya hadir tanpa ada hambatan ruang dan waktu. Mereka datang dari setiap penjuru dunia dalam sekejap mata, menembus gunung, hutan dan gurun. Wali quthub dikelilingi oleh dua orang imam sebagai wazirnya. Di samping itu, ada pula empat orang autad (pilar-pilar) yang bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi. Masing-masing dari empat orang autad itu berdomisili di arah Timur, Barat, Utara dan Selatan dari Ka'bah. Selain itu, terdapat pula tiga orang nuqaba', tujuh abrar, empat puluh wali abdal, tiga ratus akhyar dan empat ribu wali yang tersembunyi. Para wali adalah pengatur alam semesta, setiap malam autad mengelilingi seluruh alam semesta dan seandainya ada suatu tempat yang terlewatkan dari mata mereka, keesokkan harinya akan tampak ketidaksempurnaan di tempat itu dan mereka harus memberitahukan hal ini kepada wali quthub, agar ia dapat memperhatikan tempat yang tidak sempurna tadi dan dengan kewaliannya ketidaksempurnaan tadi akan hilang. Seorang wali quthub, al-Muqaddam al-Tsani, Syaikh Abdurahman al-Saqqaf beliau terkenal di mana-mana, ia meniru cara hidup para leluhurnya (aslaf), baik dalam usahanya menutup diri agar tidak dikenal orang lain maupun dalam hal-hal yang lain. Dialah yang menurunkan beberapa Imam besar seperti Syaikh Umar Muhdhar, Syaikh Abu Bakar al-Sakran dan anaknya Syaikh Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Syaikh Abdullah bin Abu Bakar yang diberi julukan al-'Aidrus. Syaikh Abdurahman al-Saqqaf selalu berta'abbud di sebuah syi'ib pada setiap pertiga terakhir setiap malam. Setiap malam ia membaca Alquran hingga dua kali tamat dan setiap siang hari ia membacanya juga hingga dua kali tamat. Makin lama kesanggupannya tambah meningkat hingga dapat membaca Alquran empat kali tamat di siang hari dan empat kali tamat di malam hari. Ia hampir tak pernah tidur. Menjawab pertanyaan mengenai itu ia berkata, "Bagaimana orang dapat tidur jika miring ke kanan melihat surga dan jika miring ke kiri melihat neraka ?". Selama satu bulan beliau beruzlah di syi'ib tempat pusara Nabi Hud, selama sebulan itu ia tidak makan kecuali segenggam (roti) terigu. Demikianlah cara mereka bermujahadah dan juga cara mereka ber-istihlak ( mem-fana'-kan diri ) di jalan Allah SWT. Semuanya itu adalah mengenai hubungan mereka dengan Allah. Adapun mengenai amal perbuatan yang mereka lakukan dengan sesama manusia, para sayyid kaum 'Alawiyin itu tidak menghitung-hitung resiko pengorbanan jiwa maupun harta dalam menunaikan tugas berdakwah menyebarluaskan agama Islam