Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.
Ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang.
Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy...”
Ditulis oleh Zulfajamalie dalam Melacak jejak Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar
Menurut bahasa tarekat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.5 Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai.6 Di samping itu pula lebih jauh menurut Usman Said tarekat dapat diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.7
Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah, sebelum menempuh atau melaksanakan jalan ke arah itu. Tarekat adalah jalan, cara, metode dan sistem menuju kepada Tuhan. Menurut Sjechul Hadi Permono kata tarekat mengalami perkembangan, sehingga mempunyai dua pengertian. Pertama, tinjauan pada abad IX dan X M tarekat berarti cara pendidikan, akhlak, dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Pengertian ini lebih mendekati suatu teori, suatu pendidikan khusus, karena pada tarekat pendidikan akhlak batin dengan melalui tingkatan-tingkatan pendidikan tertentu (maqamat dan ahwal). Namun walau demikian ia tetap umum, karena belum merupakan suatu sekte tertentu, belum merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri. Kedua, sesudah abad XI M tarekat tersebut mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan riya«ah-riya«ah rohani dan jasmani bagi sekelompok orang (murid).8
Dalam pengertian ini tarekat sudah merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri yang didirikan menurut aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas jelaslah bahwa pada prinsipnya tarekat adalah metode, cara, sistem tingkah laku (sirah) atau sul¬k yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju kepada Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat (stasiun-stasiun) dan mendaki ahwal (keadaan).
Sementara itu nama-nama tarekat dimaksud biasanya disandarkan pada nama para pendirinya. Di Indonesia tarekat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tarekat mu’tabarah. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166M), tarekat Rifaiyah oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas (wafat 1106 M), tarekat Naqsabandiyah oleh Muhammad bin Baha’uddin al-Uwaisiy al-Bukhariy (717-791 H), tarekat Sammaniyah oleh Syekh Muhammad Samman al-Madaniy (1718-1775 M), tarekat Khalwatiyah oleh Zahiruddin (wafat 1397 M), tarekat al-Haddad oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, tarekat Khalidiyah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidiy, dan lain-lain. Di antara tarekat ini yang cukup pesat perkembangannya di Tanah Banjar (Kalimantan Selatan) adalah tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia mulanya dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat di samping tarekat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang disebut dengan tarekat Sammaniyah. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan tarekat Sammaniyah di Nusantara, terutama Sumatera dan daerah sekitarnya.
Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.9
Ciri-ciri tarekat ini menurut Abu Bakar Atjeh antara lain adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah.10 Menurut Snouck Hurgronje, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman, ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).11 Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemahlembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.12
Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar
Tesis kuat yang berkembang selama ini menyatakan bahwa tarekat Sammaniyah ini adalah tarekat pertama yang masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting.
Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Sammaniyah. Hal ini terbukti dari adanya empat jenis ratib yang umumnya diamalkan masyarakat Banjar yang selaras dengan ratib Samman. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samman tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas.
Kedua, lebih daripada itu boleh jadi bahwa baratib baamal dan baratib bailmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Telaga Itar Kelua dan meluas ke daerah sekitarnya (Banua Lima) adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat.
Ketiga, nilai dan ajaran tarekat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda,13 terutama kepada para peristiwa pertempuran di berbagai daerah se Banua Lima. Seperti pertempuran di Sungai Malang Amuntai, perlawanan di daerah Martapura, peristiwa Amuk Hantarukung di Kandangan yang dikomandoi oleh dua orang kakak beradik, Bukhari dan Santar adalah pengikut tarekat murid dari Gusti Muhammad Seman yang biasa melakukan zikir dan membaca wirid-wirid tertentu.14 Begitu juga dengan gerakan Datu Aling (di Muning Rantau) dan pengikutnya, bahkan para pahlawan perang Banjar seperti P. Antasari juga termotivasi oleh pengaruh ajaran tarekat. Karena itu adagium perjuangan dan ucapan haram manyarah, waja sampai kaputing, boleh jadi adalah manifestasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf atau tarekat sammaniyah.
Sementara itu ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang. Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tarekat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy. Menurut Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir.15 Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, ditempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan shalat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan dzikir yang berbunyi la ilaha illa Allah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi kelafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah––dan seterusnya––dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan disepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata h¬ pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke-esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah. Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf.
Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan dipublikasikan secara luas, hanya disalin oleh murid-muridnya yang terpercaya, salinan kitab ini juga pernah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh.16
Walaupun berdasarkan hasil penelitian dari beberapa orang ulama dinyatakan bahwa kitab Kanzul Ma’rifah tersebut lebih bercorak khalwatiyah dan tidak murni Sammaniyah seperti sekarang ini, maka hal inipun dapat dimaklumi. Sebab Syekh Samman sendiri mulanya dibaiat sebagai pengikut tarekat Khalwatiyah yang bercorak Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Karena itu wajar jika kitab tulisan Syekh Muhammad Arsyad tersebut lebih mirip dengan ajaran tarekat Khalwatiyah dibanding tarekat Sammaniyah seperti sekarang, yang telah berdiri sendiri.
Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan tidak pernah dipublikasi secara luas, sehingga gambaran yang lengkap tentang konsepsinya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink bisa diduga bahwa sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Abdussamad al-Falimbani, yang mengikuti paham tasawuf yang agak moderat menurut aliran al-Gazali.17
Ketiga, menurut Zafry Zamzam,18 Martin van Bruinessen,19 selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad telah pula berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani dan mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tarekat Sammaniyah, kemudian sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syekh Muhammad Arsyad disebutkan sebagai salah seorang muridnya. Dengan gelar itu pula secara moralitas Syekh Muhammad Arsyad dianggap orang yang paling bertanggungjawab terhadap keberadaan dan perkembangan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari syekh Muhammad Arsyad, adalah juga penganut tarekat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tarekat Sammaniyah adalah “Guru Sekumpul” (Syekh H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni “Guru Bangil” (al-Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tarekat Sammaniyah semakin luas.
Walaupun demikian, Martin van Bruinessen tetap meyakini bahwa keberadaan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.20 Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan, tidak ada yang menyinggung dan mengisyaratkan secara khusus tentang tarekat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin Van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah yang belum dicetak dan publikasinya terbatas sebagaimana dijelaskan di atas.
Ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tarekat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjariy, sebagaimana keyakinan dan pengakuan Martin van Bruinessen di atas. Lebih jauh ada beberapa alasan signifikan mengapa Syekh Muhammad Nafis al-Banjari diasumsikan sebagai ulama kedua yang berjasa mengembangkan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh ‘Abdullah ibn Hijaziy al-Syarqawiy al-Misriy, Syekh Shiddiq ibn ‘Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy, Syekh ‘Abdurrahman Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Maghribiy dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhariy. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tarekat menurut Ahmadi Isa, Syekh Muhammad Nafis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy dan ‘Abdu¡¡amad al-Falimbaniy.21
Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af’al wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat, ÂȘat al-Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ari i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.22
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah, maka Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.23 Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al-‘Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syaikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjariy.
Keempat, setelah kembali ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795,24 pada masa kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M) Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Mengapa Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan perjuangan dakwahnya di daerah Kelua dan sekitarnya? Karena Kelua adalah daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur, dan merupakan daerah kosong dari perjuangan dakwah. Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar.25
Berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, pada abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.26 Kemudian jika pada akhirnya Kelua melahirkan pejuang-pejuang Islam yang memiliki semangat tinggi untuk mengusir penjajah Belanda boleh jadi salah satu faktor pembangkitnya adalah melalui pendekatan tasawuf dan tarekat. Sehingga dalam sejarah pergerakan dan perjuangan umat Islam di Tanah Banjar, pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir.
Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis asumsikan sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, atau paling tidak mempunyai andil terhadap perkembangannya di Tanah Banjar, terutama daerah Tanah Laut dan Kotabaru, Pagatan dan sekitarnya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil kuat yang menunjukkan hal tersebut.
Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai yakni ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy serta Syekh Abdurrahman Mashri, ia tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi ikut Syekh Muhammad Arsyad ke Banjarmasin/Martapura.27 Karena itu rasional sekali jika dikatakan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya selama di Mekkah.
Sementara, hasil perkawinannya dengan anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Syarifah melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Syekh Abdul Wahab Bugis baru pula ke kampung halamannya di Sidenring Pangkajene (Makasar) sesudah Syarifah wafat dan kedua anaknya sudah dewasa.28
Kesimpulannya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tarekat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, iapun ikut menyebarkannya. Sebab tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat, sedangkan ia adalah ulama.
Kedua, menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor.29 Informasi ini memberikan petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad al- Falimbani dan dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya petunjuk ini menguatkan kembali asumsi bahwa ia lebih banyak mengamalkan ilmunya di Kalimantan Selatan, walaupun data yang merujuk ke sana masih sedikit. Karenanya untuk lebih mengetahui tentang sejarah hidup dan keberadaan tokoh ini perlu penelitian yang lebih mendalam.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perkembangan tasawuf terutama tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Banjar itu sendiri. Karenanya mulai dari masuknya Islam ke wilayah Banjar, sampai masa perjuangan fisik hingga pembangunan sekarang diyakini bahwa tasawuf dan tarekat tetap eksis dan survive dalam menjaga kerohanian masyarakat.
Di samping itu hal yang lebih penting dan menarik lagi untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa informasi yang berkembang dan data sejarah yang berserakan tentang keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tasawuf atau tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan pada masyarakat Banjar khususnya perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Sehingga informasi, dan data-data yang mengetengahkan tentang keberadaan dan sejarah perkembangan tarekat ini menjadi lebih jelas dan valid untuk mernjadi pengetahuan dan warisan ilmu kepada generasi mendatang.
Catatan
5Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.258.
6Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979, h.47.
7Usman Said, Op.cit., h.258.
8Sjechul Hadi Permono, “Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam”, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991, h.32.
9Usman Said, Op.cit., h.286.
10Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.340.
11C. Snouck Hurgronje, dalam Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.286.
12Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.339.
13Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin, h.6.
14Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, PPIK IAIN Antasari Banjarmasin, h.7. (lihat pula Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000, h.11-12.
15M. Asywadie Syukur Syukur, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan”, Makalah Seminar, disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, tanggal 2-6 Agustus 2001, h.23.
16Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Karya, Banjarmasin, 1974, h.12. (lihat Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958).
17Karel S. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, h.96.
18Zafry Zamzam, Op.cit., h.6 dan 12.
19Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999, h.66.
20Ibid.
21Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.28 (lihat pula Zafri Zamzam, Op.cit., h.6 dan 13.
22M. Laily Mansyur, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th. h.2.
23Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th., h.109 (lihat pula Ahmadi Isa, Op.cit., h.29).
24Ahmadi Isa, “Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis”, Makalah Seminar, Disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
25Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988, h.615-616.
26Ibid.
27Zafry Zamzam, Op.cit., h.7.
28Ibid., h.14.
29Martin van Bruinessen, Op.cit., h.286
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th.
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988.
Haderani. HN, Durrun Nafis Permata yang Indah, Al Ikhlas, Surabaya, 1999.
Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, terjemahan. S. Gunawan, Bhratara, Jakarta, 1973.
Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.
__________, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis, makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Mansyur, M. Laily, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th.
Maskuri, M. Ilham, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan (Tinjauan Sejarah Pembaharuan Wacana Relegio-Intelektual), makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Permono, Sjechul Hadi, Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991.
Said, Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981.
Saleh, M. Idwar, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958.
Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000.
Streenbrink, Karel S., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
Syukur, M. Asywadie, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan, makalah disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 2-6 Agustus 2001, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam.
Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, Banjarmasin, LK3 dan Serambi Ummah. Banjarmasin Post.
Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, Banjarmasin, PPIK IAIN Antasari.
Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.
(sumber : sufi road)
Ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang.
Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy...”
Ditulis oleh Zulfajamalie dalam Melacak jejak Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar
Menurut bahasa tarekat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.5 Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai.6 Di samping itu pula lebih jauh menurut Usman Said tarekat dapat diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.7
Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah, sebelum menempuh atau melaksanakan jalan ke arah itu. Tarekat adalah jalan, cara, metode dan sistem menuju kepada Tuhan. Menurut Sjechul Hadi Permono kata tarekat mengalami perkembangan, sehingga mempunyai dua pengertian. Pertama, tinjauan pada abad IX dan X M tarekat berarti cara pendidikan, akhlak, dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Pengertian ini lebih mendekati suatu teori, suatu pendidikan khusus, karena pada tarekat pendidikan akhlak batin dengan melalui tingkatan-tingkatan pendidikan tertentu (maqamat dan ahwal). Namun walau demikian ia tetap umum, karena belum merupakan suatu sekte tertentu, belum merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri. Kedua, sesudah abad XI M tarekat tersebut mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan riya«ah-riya«ah rohani dan jasmani bagi sekelompok orang (murid).8
Dalam pengertian ini tarekat sudah merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri yang didirikan menurut aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas jelaslah bahwa pada prinsipnya tarekat adalah metode, cara, sistem tingkah laku (sirah) atau sul¬k yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju kepada Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat (stasiun-stasiun) dan mendaki ahwal (keadaan).
Sementara itu nama-nama tarekat dimaksud biasanya disandarkan pada nama para pendirinya. Di Indonesia tarekat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tarekat mu’tabarah. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166M), tarekat Rifaiyah oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas (wafat 1106 M), tarekat Naqsabandiyah oleh Muhammad bin Baha’uddin al-Uwaisiy al-Bukhariy (717-791 H), tarekat Sammaniyah oleh Syekh Muhammad Samman al-Madaniy (1718-1775 M), tarekat Khalwatiyah oleh Zahiruddin (wafat 1397 M), tarekat al-Haddad oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, tarekat Khalidiyah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidiy, dan lain-lain. Di antara tarekat ini yang cukup pesat perkembangannya di Tanah Banjar (Kalimantan Selatan) adalah tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia mulanya dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat di samping tarekat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang disebut dengan tarekat Sammaniyah. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan tarekat Sammaniyah di Nusantara, terutama Sumatera dan daerah sekitarnya.
Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.9
Ciri-ciri tarekat ini menurut Abu Bakar Atjeh antara lain adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan Hu, yaitu Dia Allah.10 Menurut Snouck Hurgronje, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman, ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).11 Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemahlembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.12
Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar
Tesis kuat yang berkembang selama ini menyatakan bahwa tarekat Sammaniyah ini adalah tarekat pertama yang masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting.
Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Sammaniyah. Hal ini terbukti dari adanya empat jenis ratib yang umumnya diamalkan masyarakat Banjar yang selaras dengan ratib Samman. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samman tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas.
Kedua, lebih daripada itu boleh jadi bahwa baratib baamal dan baratib bailmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Telaga Itar Kelua dan meluas ke daerah sekitarnya (Banua Lima) adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat.
Ketiga, nilai dan ajaran tarekat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda,13 terutama kepada para peristiwa pertempuran di berbagai daerah se Banua Lima. Seperti pertempuran di Sungai Malang Amuntai, perlawanan di daerah Martapura, peristiwa Amuk Hantarukung di Kandangan yang dikomandoi oleh dua orang kakak beradik, Bukhari dan Santar adalah pengikut tarekat murid dari Gusti Muhammad Seman yang biasa melakukan zikir dan membaca wirid-wirid tertentu.14 Begitu juga dengan gerakan Datu Aling (di Muning Rantau) dan pengikutnya, bahkan para pahlawan perang Banjar seperti P. Antasari juga termotivasi oleh pengaruh ajaran tarekat. Karena itu adagium perjuangan dan ucapan haram manyarah, waja sampai kaputing, boleh jadi adalah manifestasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf atau tarekat sammaniyah.
Sementara itu ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang. Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tarekat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy. Menurut Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir.15 Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, ditempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan shalat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan dzikir yang berbunyi la ilaha illa Allah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi kelafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah––dan seterusnya––dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan disepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata h¬ pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke-esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah. Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf.
Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan dipublikasikan secara luas, hanya disalin oleh murid-muridnya yang terpercaya, salinan kitab ini juga pernah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh.16
Walaupun berdasarkan hasil penelitian dari beberapa orang ulama dinyatakan bahwa kitab Kanzul Ma’rifah tersebut lebih bercorak khalwatiyah dan tidak murni Sammaniyah seperti sekarang ini, maka hal inipun dapat dimaklumi. Sebab Syekh Samman sendiri mulanya dibaiat sebagai pengikut tarekat Khalwatiyah yang bercorak Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Karena itu wajar jika kitab tulisan Syekh Muhammad Arsyad tersebut lebih mirip dengan ajaran tarekat Khalwatiyah dibanding tarekat Sammaniyah seperti sekarang, yang telah berdiri sendiri.
Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan tidak pernah dipublikasi secara luas, sehingga gambaran yang lengkap tentang konsepsinya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink bisa diduga bahwa sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Abdussamad al-Falimbani, yang mengikuti paham tasawuf yang agak moderat menurut aliran al-Gazali.17
Ketiga, menurut Zafry Zamzam,18 Martin van Bruinessen,19 selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad telah pula berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani dan mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tarekat Sammaniyah, kemudian sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syekh Muhammad Arsyad disebutkan sebagai salah seorang muridnya. Dengan gelar itu pula secara moralitas Syekh Muhammad Arsyad dianggap orang yang paling bertanggungjawab terhadap keberadaan dan perkembangan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari syekh Muhammad Arsyad, adalah juga penganut tarekat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tarekat Sammaniyah adalah “Guru Sekumpul” (Syekh H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni “Guru Bangil” (al-Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tarekat Sammaniyah semakin luas.
Walaupun demikian, Martin van Bruinessen tetap meyakini bahwa keberadaan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.20 Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan, tidak ada yang menyinggung dan mengisyaratkan secara khusus tentang tarekat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin Van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah yang belum dicetak dan publikasinya terbatas sebagaimana dijelaskan di atas.
Ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tarekat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjariy, sebagaimana keyakinan dan pengakuan Martin van Bruinessen di atas. Lebih jauh ada beberapa alasan signifikan mengapa Syekh Muhammad Nafis al-Banjari diasumsikan sebagai ulama kedua yang berjasa mengembangkan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh ‘Abdullah ibn Hijaziy al-Syarqawiy al-Misriy, Syekh Shiddiq ibn ‘Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy, Syekh ‘Abdurrahman Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Maghribiy dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhariy. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tarekat menurut Ahmadi Isa, Syekh Muhammad Nafis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy dan ‘Abdu¡¡amad al-Falimbaniy.21
Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af’al wa al-Asma’ wa al-Shifat wa al-Zat, ÂȘat al-Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ari i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.22
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah, maka Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.23 Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al-‘Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq al-Salamah al-Syaikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjariy.
Keempat, setelah kembali ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795,24 pada masa kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M) Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Mengapa Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan perjuangan dakwahnya di daerah Kelua dan sekitarnya? Karena Kelua adalah daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur, dan merupakan daerah kosong dari perjuangan dakwah. Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar.25
Berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, pada abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.26 Kemudian jika pada akhirnya Kelua melahirkan pejuang-pejuang Islam yang memiliki semangat tinggi untuk mengusir penjajah Belanda boleh jadi salah satu faktor pembangkitnya adalah melalui pendekatan tasawuf dan tarekat. Sehingga dalam sejarah pergerakan dan perjuangan umat Islam di Tanah Banjar, pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir.
Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis asumsikan sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, atau paling tidak mempunyai andil terhadap perkembangannya di Tanah Banjar, terutama daerah Tanah Laut dan Kotabaru, Pagatan dan sekitarnya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil kuat yang menunjukkan hal tersebut.
Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai yakni ‘Abd al-Shamad al-Falimbaniy, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy serta Syekh Abdurrahman Mashri, ia tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi ikut Syekh Muhammad Arsyad ke Banjarmasin/Martapura.27 Karena itu rasional sekali jika dikatakan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya selama di Mekkah.
Sementara, hasil perkawinannya dengan anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Syarifah melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Syekh Abdul Wahab Bugis baru pula ke kampung halamannya di Sidenring Pangkajene (Makasar) sesudah Syarifah wafat dan kedua anaknya sudah dewasa.28
Kesimpulannya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tarekat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, iapun ikut menyebarkannya. Sebab tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat, sedangkan ia adalah ulama.
Kedua, menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor.29 Informasi ini memberikan petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad al- Falimbani dan dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya petunjuk ini menguatkan kembali asumsi bahwa ia lebih banyak mengamalkan ilmunya di Kalimantan Selatan, walaupun data yang merujuk ke sana masih sedikit. Karenanya untuk lebih mengetahui tentang sejarah hidup dan keberadaan tokoh ini perlu penelitian yang lebih mendalam.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perkembangan tasawuf terutama tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Banjar itu sendiri. Karenanya mulai dari masuknya Islam ke wilayah Banjar, sampai masa perjuangan fisik hingga pembangunan sekarang diyakini bahwa tasawuf dan tarekat tetap eksis dan survive dalam menjaga kerohanian masyarakat.
Di samping itu hal yang lebih penting dan menarik lagi untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa informasi yang berkembang dan data sejarah yang berserakan tentang keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tasawuf atau tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan pada masyarakat Banjar khususnya perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Sehingga informasi, dan data-data yang mengetengahkan tentang keberadaan dan sejarah perkembangan tarekat ini menjadi lebih jelas dan valid untuk mernjadi pengetahuan dan warisan ilmu kepada generasi mendatang.
Catatan
5Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.258.
6Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979, h.47.
7Usman Said, Op.cit., h.258.
8Sjechul Hadi Permono, “Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam”, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991, h.32.
9Usman Said, Op.cit., h.286.
10Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.340.
11C. Snouck Hurgronje, dalam Usman Said, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981, h.286.
12Abu Bakar Atjeh, Op.cit., h.339.
13Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin, h.6.
14Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, PPIK IAIN Antasari Banjarmasin, h.7. (lihat pula Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000, h.11-12.
15M. Asywadie Syukur Syukur, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan”, Makalah Seminar, disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, tanggal 2-6 Agustus 2001, h.23.
16Zafry Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Karya, Banjarmasin, 1974, h.12. (lihat Idwar Saleh, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958).
17Karel S. Streenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, h.96.
18Zafry Zamzam, Op.cit., h.6 dan 12.
19Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999, h.66.
20Ibid.
21Ahmadi Isa, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001, h.28 (lihat pula Zafri Zamzam, Op.cit., h.6 dan 13.
22M. Laily Mansyur, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th. h.2.
23Abdullah Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th., h.109 (lihat pula Ahmadi Isa, Op.cit., h.29).
24Ahmadi Isa, “Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis”, Makalah Seminar, Disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
25Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988, h.615-616.
26Ibid.
27Zafry Zamzam, Op.cit., h.7.
28Ibid., h.14.
29Martin van Bruinessen, Op.cit., h.286
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawas, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, t.th.
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1979.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam Indonesia, Ihktiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1988.
Haderani. HN, Durrun Nafis Permata yang Indah, Al Ikhlas, Surabaya, 1999.
Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, terjemahan. S. Gunawan, Bhratara, Jakarta, 1973.
Isa, Ahmadi, Ajaran Tasawuf Muhammad Nafis dalam Perbandingan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.
__________, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dan Kitabnya al-Durr al-Nafis, makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Mansyur, M. Laily, Kitab ad-Durrun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, t.th.
Maskuri, M. Ilham, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan (Tinjauan Sejarah Pembaharuan Wacana Relegio-Intelektual), makalah disajikan pada diskusi keislaman oleh LK3 dan Serambi Ummah Banjarmasin Post, tanggal 24 Juli 2000.
Permono, Sjechul Hadi, Kedudukan Tarekat dalam Syariat Islam, dalam Majalah Nahdlatul Ulama Aula, Nomor 10 Tahun XIII Oktober 1991.
Said, Usman, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, IAIN Sumatera Utara, 1981.
Saleh, M. Idwar, Sejarah Bandjarmasin, KPPK. Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958.
Sjamsuddin, Helius, Islam dan Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Tengah pada Abad 19 dan Awal Abad 20, Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, Yogyakarta, 2000.
Streenbrink, Karel S., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
Syukur, M. Asywadie, “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan, makalah disampaikan pada seminar On Islamic references in the Malay World”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 2-6 Agustus 2001, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam.
Wahyudin, “Peran Ajaran Tarekat Sammaniyah dalam Gerakan Perjuangan Melawan Penjajahan di Kal-Sel”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 11 Oktober 2002, Banjarmasin, LK3 dan Serambi Ummah. Banjarmasin Post.
Yusliani Noor, “Sejarah Perjuangan Umat Islam Kalimantan Selatan dari Pasca Kesultanan Banjar Hingga Zaman Reformasi Indonesia Tahun 1998”, Makalah Seminar, disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2001, Banjarmasin, PPIK IAIN Antasari.
Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.
(sumber : sufi road)
sekarang siapa mursyid thoriqoh di kalimantan